“Pohon Menyanyi”
Di masa pendudukan radio menjadi salah satu media massa yang pertama-tama dikuasai Jepang. Jepang mengaanggap bahwa radio merupakan sebuah media propaganda yang cukup efektif. Di bawah wewenang Jawa Hoso Kanrikyoku, stasiun pemancar radio di Indonesia berada dalam kendalinya. Stasiun radio swasta dilarang, dan hanya NHK (siaran radio Jepang) yang memegang hak penuh atas penyiaran di seluruh Jawa. NHK mempunyai delapan stasiun pemancar lokal di seluruh Jawa antara lain di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surakarta, Banyumas, Semarang, Surabaya, dan Malang.
Di Yogyakarta siaran radio berada di bawah Militair Hosokyoku Jogjakarta (MHJ) dengan gelombang 92.95 m dan 128 m namun, pada Juli 1943 gelombang siaran berubah menjadi 106 m. Siaran dimulai pada pukul 7.30 dengan di awali acara mars pembuka dan di akhiri penutup pada pukul 00.30. Siaran ini berlangsung dengan dua shift. Shift pertama dimulai pada pukul 7.30 sampai dengan pukul 15.30, sedangkan shift kedua di mulai pukul 17.54 sampai pukul 00.30.
Isi siaran yang disampaikan merupakan rancangan yang telah disusun Sendenbu yang berupa siaran doktrin-doktrin propaganda, hiburan, berita dalam berbagai bahasa, dan pelajaran bahasa Jepang. Bahasa utama yang dipakai dalam siaran yaitu bahasa Indonesia, radio MHJ sendiri hanya menggunakan tiga bahasa siaran yaitu bahasa Indonesia, Jepang dan Jawa. Berita dalam bahasa Indonesia selalu menempati urutan awal, disusul dengan bahasa Jepang dan terakhir sekitar pukul 22.00 berita disampaikan dalam bahasa Jawa. Durasi penyampaian yang paling dominan justru ditempati oleh bahasa Indonesia dan sesekali bahasa Jepang, sedangkan bahasa Jawa hanya mendapatkan porsi sekitar 30 menit setiap kali siaran itu pun ditempatkan pada jam-jam akhir masa siaran.
Hiburan yang disajikan beraneka ragam seperti pertujukan wayang, sandiwara, cerita anak dan musik dengan berbagai macam bahasanya. Untuk hiburan wayang, dan sandiwara biasanya di isi oleh grup-grup lokal yang berada di wilayah Yogyakarta, seperti pementasan wayang kulit dengan dalang R. B. Tjremodiworo alias Wikrigito yang disiarankan pada tanggal Ahad, 11 April 1943, pementasan wayang ini bercerita tentang “Lahirnya Bambang Wisang Geni”. Acara musik umumnya di isi oleh grup-grup kroncong sedangkan pengisi acara cerita anak disuarakan oleh Ibu Soed, seorang pendongeng dan pencipta lagu yang populer sampai masa pasca kemerdekaan. Sebuah siaran yang tidak boleh dilupakan dan selalu hadir pada setiap pagi dan sore adalah acara senam pagi dan sore atau “gerak taiso”. Ini merupakan salah satu acara wajib pada semua siaran radio di Jawa.
Satu hal yang tidak dapat diabaikan oleh pemerintah adalah siaran-siaran yang bertalian dengan agama Islam. Tiga kali dalam seminggu, pemerintah menempatkan acara ceramah keagamaan Islam sebagai acara wajib dan yang paling rutin adalah pada hari Jum’at. Berbeda dengan hari-hari lainnya, pada hari ini siaran radio menyiarkan Tilawatul Qu’ran di pagi hari dan di siang hari ketika shalat Jumat dilaksanakan, radio MHJ menyiarkan secara langsung khutbah Jum’at dari masjid Agung Yogyakarta. Ini tidak lain adalah salah satu cara pemerintah untuk dapat memperoleh simpati yang cukup besar dari kalangan umat Islam khsususnya di Yogyakarta.
Dilihat dari fungsinya radio merupakan alat propaganda audio yang paling efektif. Tanpa bersusah payah mengerahkan masa, radio, dengan sendiri didatangi, didengar dan disimak oleh khalayak ramai. Oleh karena, pemerintah membangun pengeras suara (radio to) diberbagai tempat umum seperti apsar, stasiun kereta api, jalan raya, taman, dan berbagai lapangan. Jejak mengenai radio to, saat ini amsih dapat disampaikan di daerah Baciro tepatnya di depan balai desa Pengok Kidul. Kondisi radio to ini sampai sekarang masih terpelihara dengan baik. Menara radio to ini mempunyai tinggi sekitar 3 m, dan radio to yang berada di wilayah Pengok Kidul ini merupakan satu-satunya warisan Jepang yang masih tersisa di Yogyakarta sampai saat ini.
Radio to yang tersisa ini berbetuk persegi empat, mempunyai atap yang menyerupai bentuk kubah dan ditopang oleh tiang beton. Pada masa pendudukan rakyat umumnya menyebut radio to sebagai pohon menyanyi karena ia banyak ditempatkan di atas pohon, galah panjang dan atap.